Mengawali Hari dengan Syukur
Ada banyak cara memulai hari, tapi tidak semua cara membawa ketenangan. Sebagian dari kita membuka mata lalu segera menatap ponsel — membaca pesan, berita, atau keluhan dunia yang seakan tak pernah berhenti. Di saat yang sama, matahari perlahan terbit, burung-burung berkicau, dan udara pagi membawa kehidupan baru. Namun sayang, kita sering melewatkannya begitu saja. (Baca juga: Tentang Tenang yang Tak Bisa Dibeli)
Pagi seharusnya menjadi waktu yang paling jernih. Udara masih bersih, hati masih lembut, dan pikiran belum sempat disesaki rutinitas. Namun justru di waktu inilah, manusia kerap lupa mengucap syukur. Lupa bahwa setiap detik kehidupan adalah karunia yang tidak bisa dibeli dengan apapun.
Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu...” (QS. Ibrahim: 7)
Ayat itu sederhana, tapi mengandung rahasia besar. Syukur bukan sekadar ucapan “alhamdulillah” di bibir, melainkan kesadaran yang hidup di dalam hati. Kesadaran bahwa segala sesuatu — bahkan yang tampak kecil — adalah bagian dari kasih sayang Allah yang terus mengalir.
Bagi sebagian orang, pagi terasa berat karena harus kembali bekerja. Ada target, ada rapat, ada laporan yang belum selesai. Namun di balik semua itu, ada nikmat besar yang sering terabaikan: nikmat diberi kesempatan untuk berbuat. Setiap hari adalah peluang memperbaiki diri, memperbaiki amal, memperbaiki niat.
Bagi seorang aparatur sipil negara, misalnya, rutinitas kerja mungkin terasa biasa. Tapi di balik berkas dan pelayanan, sesungguhnya ada ladang pahala jika semua itu dilakukan dengan hati yang bersyukur. Melayani masyarakat bukan sekadar menjalankan tugas, melainkan bentuk nyata dari rasa terima kasih kepada Allah atas amanah yang diberikan.
Syukur membuat pandangan kita berubah. Hal kecil menjadi bermakna. Teguran menjadi pelajaran. Kesulitan menjadi jalan peningkatan. Orang yang bersyukur tidak menunggu keadaan sempurna untuk merasa bahagia — karena ia tahu, kebahagiaan bukan soal memiliki lebih banyak, melainkan menyadari bahwa apa yang dimiliki sudah cukup.
Barangkali, di antara kesibukan hari ini, kita bisa berhenti sejenak. Menarik napas panjang, menatap langit, dan membisikkan dalam hati: “Terima kasih, ya Allah, karena aku masih Kau beri kesempatan untuk memulai hari ini.”
Dan mungkin, dari bisikan sederhana itulah, hari kita akan berjalan lebih tenang, langkah kita lebih ringan, dan hati kita lebih damai.
“Syukur adalah cara paling lembut untuk menenangkan hati, dan pintu paling sunyi menuju kebahagiaan.” 🌿(Baca juga: Pagi yang Tenang, Hati yang Bersyukur)
Komentar
Posting Komentar