Fenomena OTT dan Krisis Nurani dalam Wajah Penegakan Hukum Kita

Operasi Tangkap Tangan (OTT) kini bukan lagi sekadar berita mengejutkan. Ia telah menjadi pemandangan rutin di layar televisi dan linimasa media sosial. Setiap kali lembaga antirasuah melakukan OTT, publik serentak bereaksi—antara kaget, marah, sekaligus pasrah. Seolah-olah kita telah terbiasa menyaksikan moral yang runtuh di hadapan godaan kekuasaan dan uang.

Hukum di negeri ini sesungguhnya masih berjalan. Para penyidik masih bekerja, pasal-pasal hukum masih dibacakan di ruang sidang, dan vonis masih dijatuhkan. Namun, yang menipis justru sesuatu yang lebih mendasar: nurani. Ia seperti tubuh yang perlahan kehabisan oksigen—masih hidup, tapi nyaris tak berdaya. (Baca juga: Memaknai Pahlawan di Zaman Penuh Paradoks).

OTT sering dianggap sebagai kemenangan hukum, padahal di sisi lain, ia juga menyingkap kekalahan nurani. Sebab korupsi bukan hanya soal angka kerugian negara, tetapi juga soal bagaimana akal sehat dan rasa malu telah dikhianati. Orang-orang yang seharusnya menjaga keadilan justru tergoda oleh kekuasaan yang mereka miliki. Di situlah kita melihat paradoks yang paling menyakitkan: hukum tegak, tetapi moral roboh.

Mungkin, di permukaan kita menyaksikan keberanian aparat dalam membongkar kasus-kasus korupsi. Namun jika dilihat lebih dalam, kita sebenarnya sedang menyaksikan gagalnya pendidikan nurani dalam sistem sosial kita. Nilai-nilai kejujuran yang dulu diajarkan di rumah dan sekolah kini kalah oleh logika materialisme. Ukuran keberhasilan tidak lagi berbasis integritas, tetapi dari berapa banyak harta yang bisa dikumpulkan, seberapa cepat jabatan bisa diraih. (Baca juga: Bencana Ketika Jabatan Diperjualbelikan)

OTT yang terus berulang seolah menjadi alarm keras bahwa ada yang retak di dasar kesadaran kolektif kita. Ketika seseorang yang tahu hukum justru melanggar hukum, itu berarti masalahnya bukan lagi pada pengetahuan, tapi pada kehilangan kendali batin. Kita mungkin cerdas secara intelektual, tetapi lumpuh secara moral.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa penegakan hukum tak akan pernah sempurna tanpa penegakan hati. Tidak ada pasal yang bisa menanamkan rasa malu, tidak ada undang-undang yang mampu menumbuhkan empati. Semua itu tumbuh dari kesadaran batin, dari pendidikan nilai, dari lingkungan yang memberi teladan. (Baca juga: Tentang Tenang yang Tak Bisa Dibeli)

Kita membutuhkan lebih dari sekadar lembaga antikorupsi; kita memerlukan gerakan kesadaran nurani nasional. Karena setiap OTT hanyalah respons terhadap penyakit yang sudah menjalar. Yang kita butuhkan adalah pencegahan di akar—di rumah, di sekolah, di ruang-ruang kepemimpinan. Kita harus kembali menanamkan keyakinan bahwa kekuasaan bukan alat untuk memperkaya diri, tetapi amanah untuk melayani.

Jika nurani terus mati pelan-pelan, maka hukum hanya akan menjadi bangunan tanpa jiwa. Ia berdiri megah, tetapi kosong maknanya. Maka barangkali benar jika dikatakan: hukum kita masih hidup, namun nurani kita sedang sekarat. Dan bila keadaan ini terus dibiarkan, jangan heran jika suatu saat kita hanya punya dua pilihan: hidup di bawah bayang-bayang ketakutan, atau berani menyalakan kembali api kesadaran moral yang nyaris padam.

Sebagai catatan akhir, harus saya katakan, bahwa OTT bukan sekadar peristiwa hukum, tetapi juga cermin kejatuhan nurani bangsa. Jika kita ingin benar-benar bebas dari korupsi, maka perjuangan itu tidak bisa diserahkan pada lembaga penegak hukum semata. Ia harus dimulai dari kesadaran pribadi, dari hati yang kembali takut berbuat salah meski tak ada yang mengawasi. Karena pada akhirnya, korupsi berhenti bukan karena takut ditangkap, tapi karena takut kehilangan harga diri. (Baca juga: Fenomena OTT: Hukum Masih Hidup, Tapi Nurani Sedang Sekarat)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengawali Hari dengan Syukur

Tentang Tenang yang Tak Bisa Dibeli