Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2025

Fenomena OTT dan Krisis Nurani dalam Wajah Penegakan Hukum Kita

Operasi Tangkap Tangan (OTT) kini bukan lagi sekadar berita mengejutkan. Ia telah menjadi pemandangan rutin di layar televisi dan linimasa media sosial. Setiap kali lembaga antirasuah melakukan OTT, publik serentak bereaksi—antara kaget, marah, sekaligus pasrah. Seolah-olah kita telah terbiasa menyaksikan moral yang runtuh di hadapan godaan kekuasaan dan uang. Hukum di negeri ini sesungguhnya masih berjalan. Para penyidik masih bekerja, pasal-pasal hukum masih dibacakan di ruang sidang, dan vonis masih dijatuhkan. Namun, yang menipis justru sesuatu yang lebih mendasar: nurani. Ia seperti tubuh yang perlahan kehabisan oksigen—masih hidup, tapi nyaris tak berdaya. ( Baca juga: Memaknai Pahlawan di Zaman Penuh Paradoks ). OTT sering dianggap sebagai kemenangan hukum, padahal di sisi lain, ia juga menyingkap kekalahan nurani. Sebab korupsi bukan hanya soal angka kerugian negara, tetapi juga soal bagaimana akal sehat dan rasa malu telah dikhianati. Orang-orang yang seharusnya menjaga ...

Tentang Tenang yang Tak Bisa Dibeli

Ada banyak hal yang bisa dibeli dengan uang, tetapi tidak dengan ketenangan. Kita bisa membeli tempat tidur yang empuk, tapi tidak bisa membeli tidur yang nyenyak. Kita bisa membeli rumah besar, tapi belum tentu bisa pulang dengan hati yang damai. Ketenangan bukan hasil dari kemewahan, tapi buah dari keberserahan. Ia hadir bukan karena semua urusan telah selesai, tapi karena hati belajar menerima — bahwa hidup tidak harus sempurna untuk bisa disyukuri. Allah berfirman: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Ayat di atas sering kita dengar, tapi jarang benar-benar kita rasakan. Karena mengingat Allah bukan sekadar menyebut nama-Nya, melainkan menghadirkan-Nya dalam setiap rasa. Ketika sedang sibuk, kita sadar bahwa kekuatan berasal dari-Nya. Ketika gelisah, kita tahu bahwa arah terbaik adalah kembali kepada-Nya. Ada masa di mana semua tampak baik, namun hati tetap tidak damai. Mungkin bukan karena kurangnya rezeki, tapi karena hati bel...

Mengawali Hari dengan Syukur

Ada banyak cara memulai hari, tapi tidak semua cara membawa ketenangan. Sebagian dari kita membuka mata lalu segera menatap ponsel — membaca pesan, berita, atau keluhan dunia yang seakan tak pernah berhenti. Di saat yang sama, matahari perlahan terbit, burung-burung berkicau, dan udara pagi membawa kehidupan baru. Namun sayang, kita sering melewatkannya begitu saja. ( Baca juga: Tentang Tenang yang Tak Bisa Dibeli ) Pagi seharusnya menjadi waktu yang paling jernih. Udara masih bersih, hati masih lembut, dan pikiran belum sempat disesaki rutinitas. Namun justru di waktu inilah, manusia kerap lupa mengucap syukur. Lupa bahwa setiap detik kehidupan adalah karunia yang tidak bisa dibeli dengan apapun. Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu...” (QS. Ibrahim: 7) Ayat itu sederhana, tapi mengandung rahasia besar. Syukur bukan sekadar ucapan “alhamdulillah” di bibir, melainkan kesa...